INFORMASI, KABARBOLO - Di sebuah rumah panggung reot di Kampung Padangenyang, Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, seorang bocah 4 tahun bernama Raya menjalani hidup yang tak pernah benar-benar layak disebut kehidupan. Sejak lahir, ia tumbuh dalam keterbatasan yang mencekik. Tubuhnya kecil, kurus, dan selalu berada jauh di bawah garis merah pertumbuhan anak.
Sehari-hari, Raya hanya mengenal dunia sempit: rumah bilik dengan lantai bambu yang rapuh, kolong rumah yang dipenuhi kotoran ayam, dan udara pengap bercampur bau yang menusuk. Dari sanalah penyakit mulai merayapi tubuh mungilnya, cacing-cacing parasit yang secara perlahan mengambil alih organ demi organ.
Ayahnya sakit-sakitan, tidak mampu bekerja. Ibunya mengalami gangguan jiwa, tak bisa memberikan perawatan yang semestinya. Hidup Raya adalah kesunyian panjang, tanpa suara tawa riang, tanpa permainan, tanpa perhatian medis. Ia hanya dirawat seadanya dengan cara tradisional, seolah kesehatan hanyalah kemewahan yang mustahil mereka raih.
VIDEO YANG MEMBUKA LUKA
Kisah Raya mencuat ke publik ketika akun Instagram @rumah_teduh_sahabat_iin mengunggah sebuah video berdurasi 9 menit. Dalam video itu, relawan tampak berusaha menarik seekor cacing hidup sepanjang 15 cm dari hidung Raya.
Adegan memilukan itu tak hanya membuat publik terenyuh, tapi juga menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin di era modern ini, seorang anak bisa hidup dan mati dengan tubuh yang dipenuhi cacing?
Video itu viral. Ribuan komentar membanjiri lini masa. Ada yang menangis, ada yang marah, ada pula yang menuding pemerintah lalai.
PERJUANGAN MELAWAN MUSTAHIL
Tim pegiat sosial akhirnya membawa Raya ke rumah sakit. Saat itulah kenyataan yang lebih kejam terungkap. Dari tubuh mungil Raya, dokter berhasil mengeluarkan cacing hidup hingga seberat 1 kg. Bayangkan, satu kilogram parasit yang selama ini hidup, berkembang biak, dan merayap di dalam tubuh seorang bocah 4 tahun.
Hasil CT Scan lebih menghancurkan hati: cacing dan telurnya telah menyebar sampai ke otak. Itu berarti penderitaan Raya bukan hanya pada tubuhnya yang lemah, tapi juga pada syaraf dan pikirannya yang terganggu. Setiap detik baginya adalah siksaan yang tak bisa dibayangkan.
Relawan berlari, mencari pertolongan. Surat permohonan bantuan dilayangkan ke pemerintah, lembaga sosial, hingga donatur pribadi. Tetapi jawaban yang datang sama: nihil. Sementara itu, tubuh kecil Raya semakin kehilangan cahaya, seperti lilin yang terbakar habis.
DETIK-DETIK TERAKHIR
Pada 22 Juli 2025, perjuangan panjang itu berakhir. Raya menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit. Tak ada peralatan canggih yang mampu menyelamatkannya, tak ada tangan kokoh negara yang hadir tepat waktu. Ia pergi dalam diam, meninggalkan luka dalam yang tak akan pernah sembuh.
Bagi keluarga miskin yang ditinggalkan, kematian Raya adalah kepedihan yang tak terlukiskan. Bagi para relawan yang merawatnya, kepergiannya adalah kegagalan yang membekas. Dan bagi publik yang menyaksikan kisahnya, tragedi ini adalah tamparan keras di tengah gegap gempita slogan kesehatan dan gizi anak.
SEBUAH IRONI
Raya seharusnya masih bermain dengan kawan sebayanya, belajar mengenal huruf dan angka, atau sekadar berlari di halaman rumah. Namun kenyataannya, ia meregang nyawa dengan tubuh dipenuhi cacing, di negeri yang setiap tahun mengumandangkan program gizi anak dan kesehatan keluarga.
Tragedi ini bukan hanya tentang satu anak bernama Raya. Ia adalah simbol, potret buram tentang bagaimana kemiskinan, kelalaian, dan sistem yang rapuh bisa merenggut nyawa anak-anak tak berdosa.
Raya telah tiada, tapi kisahnya tetap hidup sebagai jeritan sunyi. Jeritan yang bertanya:
Sampai kapan anak-anak miskin harus menunggu keadilan?
Sampai kapan tubuh kecil harus dikorbankan hanya karena lahir di tengah keluarga miskin yang tak pernah tersentuh perhatian pemerintah? (red)